Source: mozaik.inilah.com |
Mungkin bagi sebagian laki-laki, pernyataan itu adalah sumber kegembiraan, yang bisa jadi alasan buat jungkir balik. Tapi saya termasuk yang sebagian lainnya. Sejak awal berumah tangga, saya punya impian sederhana. Membuktikan bahwa ketika dia, wanita yang saya kagumi menerima pinangan saya, maka akan saya buktikan bahwa pilihannya itu bukanlah satu kesalahan.
Jadi ketika mendengar kata-kata itu, saya terdiam. Apakah saya tak lagi istimewa? sudah bosankah dinda dengan kebersamaan ini? Atau sudah lelah mengarungi rumah tangga bersama sehingga kalimat itu bisa muncul?
"Abang boleh poligami." Istri saya menatap mesra ketika mengucapkannya. Saya terpana. Tapi kok jleb rasanya, bukannya gembira.
Pasti muka saya lebih jelek dari biasanya karena istri mendadak tertawa. Masih tergelak dia menambahkan ucapan yang rupanya belum selesai.
"Tapi ada tiga syarat. Satu, harus yang lebih muda. Dua, harus yang lebih cantik. Tiga, Jangan pulang lagi."
Jujur sejujur jujurnya. Saya malah lega dengan penjelasannya. Saya masih tak ingin dibaginya dengan perempuan lain. Membawa kopi dari dapur saya balik lagi ke meja kecil dekat colokan listrik. Tempat laptop saya yang kondisi baterainya membuat laptop tak boleh jauh dari sumber listrik.
Kami sudah melewati tahap membahas poligami sejak bertahun lalu. Dan saya tahu bahwa istri membolehkan dengan alasan sederhana. Allah saja membolehkan poligami, maka siapa kita manusia ini mengharamkan yang Allah halalkan.
Tapi obrolan kami tidak putus sampai disitu. Diskusi kami masih berlanjut. Kami membahas semua sisi, termasuk fakta bahwa semakin banyak muslimah yang belum menikah pada usia yang sudah semakin matang.
Jumlah perempuan memang lebih banyak dari laki-laki. Ditambah dengan kenyataan yang sering istri lihat di tempat kerjanya. Istri saya bekerja di Mahkamah Syar'iah, pengadilan agama. Dan setiap hari harus berurusan dengan kasus perceraian, KDRT, izin nikah untuk anak di bawah umur, gugatan karena perselingkuhan, masalah warisan, dan banyak lagi.
Kompetisi dalam menikah, maaf sebelumnya karena pakai istilah ini, memang membuat banyak perempuan kebingungan. Perbandingan jumlah membuat lebih banyak lagi perempuan yang belum menikah pada usia matang. Bahkan tak jarang mereka membuka peluang pada siapa saja asalkan baik orangnya, tapi kesempatan masih belum hadir juga.
Kaum feminis-liberal dan kerabatnya, mengangkat isu poligami untuk menunjukkan seolah yang namanya Islam itu sangat tidak melindungi perempuan. Saya malah bingung, banyak dari mereka orang cerdas, kenapa menganggap ikatan pernikahan sebagai sesuatu yang salah. Padahal perempuan juga punya kebutuhan, seperti disayangi, dilindungi, dan juga kebutuhan sexual. Yang kalau terus dipendam, larinya nanti ke hal buruk seperti sex diluar nikah. Kalau itu yang terjadi apa lebih baik bagi perempuan? Aneh logikanya.
Soal poligami ini mencuat lagi. Gara-garanya, film yang diangkat dari novel Asma Nadia, Surga Yang Tak Dirindukan. (Seingat saya dulu novel ini berjudul Istana Kedua).
Meskipun sekilas film ini memberi pemakluman pada pernikahan kedua. Tapi film ini juga sarat dengan kesan perlawanan. Seolah Arini memaklumi pernikahan kedua Pras dengan Mei Rose karena sederet kondisi yang memaksa. Mei Rose yang mualaf, menderita, dan banyak lagi.
Ending yang menggantung malah membuat poligami semakin tersudut. Seolah tidak bisa diberi satu keputusan yang pasti, untuk sesuatu yang sudah pasti. Lagi-lagi poligaminya yang disalahkan, bukan oknum pelakunya.
Mindset yang terbentuk sekarang, adalah lebih baik melajang ketimbang dimadu. Segelintir sih bisa mengesampingkan semua kebutuhan yang sebenarnya memang normal. Tapi banyak yang akhirnya jungkir balik mencari penyaluran, dan tidak sedikit yang berujung pada 'khilaf' atau mengalami gangguan orientasi sexual/perilaku sexual.
Trus, salah siapa?
Saya berpikir yang salah disini adalah paham. Salah paham. Semua kesalahan dalam poligami adalah salah dalam memahami hukumnya. Bukan membela, tapi menegaskan bahwa salah paham menciptakan oknum pelaku yang bermasalah.
Seperti orang yang belajar agama sepotong-sepotong, tapi kemudian mendadak jadi ustadz atau ustadzah. Seperti seorang yang tidak bisa membaca al-Qur'an dengan benar tapi karena mendadak ustadz/ustadzah jadi juri untuk orang lain membaca Qur'an. Kacau jadinya.
Betul dalam Qur'an ada surah an-nisa ayat 3, yang menganjurkan menikahi dua, tiga atau empat. Tapi jangan lupa, di ayat yang sama, juga ada pengingat kalau tidak bisa berlaku adil, maka satu saja.
Yang nyebelin adalah ketika dalil diambil sepotong-sepotong. Giliran haknya di kutip saat bagian kewajiban pura-pura tidak ingat. Poligami itu anjuran, untuk kebaikan dan menjamin hak perempuan. Hak untuk mendapat nafkah lahir batin, hak untuk disayangi secara halal dan dilindungi hukum, hak untuk mendapat jaminan secara agama dan hukum (waris, nafkah, dll).
Melekat juga dalam aturan poligami itu kewajiban, Bukan sekedar suka-suka laki-laki. Aturan yang paling depan, adalah ADIL. Masih banyak lagi aturan lainnya, seperti masalah waktu dan hak setiap istri, masalah nafkah, tidak boleh menikahi perempuan yang bersaudara dalam satu waktu. Soal tempat tinggal yang disunahkan terpisah antara istri-istri. Banyaaaak aturannya, dan berat.
Ada kesepakatan serupa yang menjadi ujung diskusi-diskusi saya dengan istri. Bila satu ketika, keadaan, dan banyak faktor, yang membuat saya tidak lagi bisa berkelit menghindar atau menolak, maka pernikahan kedua itu haruslah untuk kebaikan dan kepentingan yang lebih besar, dan tidak boleh menjadi pemisah diantara kami. Kami sepenuhnya sadar, Allah lebih tahu dari manusia ketika membuat satu aturan, dan implikasi dalam kehidupan. Saya juga paham sepenuhnya, beban berat yang harus dirasakan oleh istri manapun ketika membagi rumah tangga. Seperti juga kami mengerti, pernikahan kedua bukanlah suka ria, namun amanah dan beban tanggung jawab yang lebih berat lagi.
Jujur, bebannya seperti melihat dewa yunani kuno, Atlas, menahan langit di pundaknya.
"....bebannya seperti melihat dewa yunani kuno, Atlas, menahan langit di pundaknya."
ReplyDeleteKalau saya, satu saja sepertinya sudah ampun bang. hahaha.
Sama, satu istri tiga anak saja rasanya masih penuh perjuangan. Makanya saya salut dgn beberapa ustadz yg saya kenal, yang mampu membina 4 keluarga, 4 rumah, dalam satu rumah tangga.
ReplyDeleteSaya bahkan belum satu pun, bang. Itu pun mikirnya ga abes-abes.
ReplyDeleteKelamaan mikir mungkin, coba pulang dari berlayar, disiapkan pancing, atau jala kalau perlu. Mungkin bisa dapat ikan duyung
ReplyDeleteHehe, tadi udah mau komen serius, saya, Bang Fadhil, eh baca komen abang untuk Citra, jadi nyengir dan lupa apa yang mau saya tulis tadi. :D
Deletewaduh maafkan saya kak alaika. semoga saya tdk dituntut dengan pasal penghilangan memori diluar kehendak.
ReplyDelete# sebenarnya saya komen apa sih? :D
Ninggalin jejak dlu,bang:).
ReplyDelete*orang pangkalan ojek
eh ada tamu, mampir bu ina :)
ReplyDeleteBagian kalimat ini "Kami sudah melewati tahap membahas poligami sejak bertahun lalu. Dan saya tahu bahwa istri membolehkan dengan alasan sederhana. Allah saja membolehkan poligami, maka siapa kita manusia ini mengharamkan yang Allah halalkan" luar biasa menampar saya yang sangat tidak siap dipoligami. Tulisan yg cukup membuka mata. Salam kenal bang Sayid, dari anggota GIB yg msih jdi silent reader.
ReplyDelete